Jumat, 16 Agustus 2013

Paliatif, Agar Sisa Hidup Lebih Berharga

Kata kematian sering kali terdengar seram, sakit, dan tabu. Tapi bagi penderita penyakit yang sudah tak bisa disembuhkan, seperti kanker stadium 4 atau AIDS, kematian seolah sudah di depan mata. Namun kualitas hidup pasien semacam itu perlu ditingkatkan. 


"Asuhan paliatif berusaha meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa baik fisik, psikologis dan spiritual," ujar Program Manajer Yayasan Rumah Rachel, Nurhanita, dalam acara Sehati Bersama di kantor Novartis, Selasa, 16 Juli 2013. Yayasan Rumah Rachel adalah salah satu lembaga pegiat asuhan paliatif khususnya pada anak penderita kanker dan HIV+. 

Nurhanita menuturkan, asuhan paliatif memang awam bagi masyarakat Indonesia. Apalagi dengan kultur yang menganggap bicara kematian sebagai hal tabu. Padahal layanan paliatif justru mempersiapkan pasien dan keluarga menghabiskan masa terakhir hidupnya, sehingga bisa meninggal dengan tenang.

Asuhan paliatif masih menimbulkan banyak perbedaan persepsi antara keluarga pasien, tenaga kesehatan sendiri, dan pemerintah. Padahal Yayasan ini sudah bergerak hampir selama tujuh tahun belakangan. "Kesamaan pemahaman antara keluarga, pasien, dan layanan kesehatan penting untuk kenyamanan pasien," Nurhanita mengatakan. Pernah dijumpai, bahwa keluarga pasien sudah setuju mendapat layanan paliatif, tiba-tiba memutuskan kembali melakukan kemoterapi atau radioterapi. "Padahal pasiennya sudah menolak ke rumah sakit." 

Susi Susilawati, suster yang bersama Rumah Rachel sejak 2006 menjelaskan layanan paliatif multidisiplin. Mulai dari perawat, terapis, ahli gizi, psikolog, pekerja sosial, relawan hingga ahli agama. Perawatannya bermacam-macam. Ada penanganan gejala dan nyeri, perawatan luka, penanganan nutrisi, dukungan psikologi dan dukungan spiritual.

Untuk perawatan luka, pasien paliatif biasanya memiliki jenis luka spesifik. "Kalau luka, mereka lebih heboh, lebih nyeri, lebih banyak cairan dan sedikit kena infeksi aja bisa mematikan," ujar Susi dalam kesempatan yang sama. Selama merawat pasien, ia menemukan banyak yang memang sudah enggan dirawat di rumah sakit.

Ada satu kisah yang selalu dikenangnya, tentang pengaruh layanan ini bagi psikologis anak penderita HIV positif. Anak berusia 7 tahun yang kedua orang tuanya meninggal karena penyakit yang sama, ternyata mengalami kesakitan luar biasa. Tante sang bocah pun menghubungi Susi agar bisa segera menjenguk, sebab dia emoh ke rumah sakit.