Selasa, 28 Januari 2014

Ditemukan, Bakteri Usus Pemicu Kanker Kolorektal

Kanker usus besar atau kolorektal diketahui merupakan salah satu jenis kanker yang dipicu oleh kebiasaan hidup yang tidak sehat, seperti makan berlemak, kurang serat, kurang minum, dan jarang bergerak. Namun dua studi baru menemukan, kanker ini juga dipicu oleh bakteri tertentu.

Kedua studi yang dipublikasi dalam jurnal Cell Host & Microbe tersebut mengungkap, tipe bakteri yang dapat ditemukan di mulut ini sangat dapat memicu serangan kanker kolorektal dengan memanipulasi respons imun tubuh.

Para peneliti studi menekankan pada spesies bakteri tertentu yang disebut dengan Fusobacteria nucleatum. Mereka sebelumnya menemukan, jumlah bakteri tersebut banyak di dalam mulut pasien kanker kolorektal. Namun, mereka belum dapat memastikan apakah bakteri ini merupakan penyebab dari kanker.

Dalam studi pertama, para peneliti menemukan, Fusobacteria pada tumor jinak di usus dapat meningkatkan potensi tumor tersebut menjadi kanker. Mereka pun berpendapat, bakteri itu mungkin berhubungan dengan proses pembentukan awal tumor.

Sementara itu, dalam studi kedua para peneliti melakukan percobaan pada tikus yang sudah direkayasa mengalami kanker kolorektal. Mereka menemukan, Fusobacteria meningkatkan jumlah sel kekebalan tertentu yang disebut sel myeloid. Sel tersebut dapat masuk ke dalam tumor dan mempercepat pembentukan kanker.

Usus merupakan tempat ditemukannya triliunan bakteri yang sebenarnya dibutuhkan untuk menjaga kesehatan. Bakteri memengaruhi sistem imun tubuh yang membantu penyerapan sari-sari makanan.

Biarpun demikian, bakteri-bakteri ini terkadang juga bisa memicu penyakit sehingga para pakar mengategorikan bakteri usus menjadi bakteri "baik" dan "jahat".

Para peneliti percaya temuan mereka dapat memberikan dasar diagnosis dan pengobatan penyakit yang lebih baik.

"Fusobacteria mungkin dapat memicu kanker usus, namun yang lebih penting adalah penemuan cara baru untuk menghentikan pertumbuhan tumor dan penyebarannya," pungkas mereka.

Selasa, 14 Januari 2014

Kanker Kolorektal Jadi Ancaman

Kanker kolorektal mengancam seiring pertambahan usia harapan hidup dan perubahan gaya hidup. Di dunia, setidaknya 1,5 juta orang terkena kanker itu setiap tahun.
Hal itu dikemukakan Profesor GNJ Tytgat, President World Gastroenterology Organizations, dalam jumpa pers terkait penyelenggaraan ”Symposium Breast, Colorectal, and Liver Update 2011”, Sabtu (21/5) di Jakarta.
Penyebab kanker kolorektal (usus besar dan dubur) antara lain faktor genetik, riwayat pasien pernah menderita tumor jinak pada usus besar, dan peradangan usus. Pola makan dan paparan dari zat-zat tertentu juga memudahkan timbulnya kanker.
Tytgat mengatakan, ancaman kanker kolorektal tidak hanya di negara-negara Barat, tetapi juga di Asia. ”Pola makan tinggi lemak dan rendah serat, kurang aktivitas fisik, serta merokok mempertinggi risiko kanker kolorektal,” ujarnya. Risiko terkena kanker kolorektal meningkat pada usia di atas 50 tahun.
Perkembangan kanker kolorektal lambat, terjadi bertahun- tahun, hingga akhirnya berbagai gejala muncul, antara lain ada darah pada tinja saat buang air besar, perubahan frekuensi dan konsistensi buang air besar, serta rasa sakit di perut.
Tytgat mengatakan, sebaiknya dilakukan deteksi dini untuk kanker kolorektal sejak usia 35 tahun. ”Dulu deteksi dini dimulai sejak usia 50 tahun. Namun, deteksi dini 10-15 tahun lebih awal akan sangat baik,” katanya.
Dokter spesialis bedah onkologi, Samuel Haryono, mengatakan, deteksi dini dan edukasi tentang kanker penting untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian. Penemuan kasus pada stadium dini membuat penanganan lebih mudah, masa bebas penyakit lama, dan kemungkinan tumbuh kanker kembali rendah.
Metode yang dapat dilakukan untuk deteksi dini untuk kanker kolorektal antara lain pemeriksaan adanya darah pada tinja, pemindaian dan endoskopi untuk melihat ke saluran pencernaan.
Penanganan kanker usus antara lain dengan operasi terbuka, operasi laparoskopi (menggunakan fiber optik yang dimasukkan ke tubuh pasien sehingga irisan pada kulit lebih sedikit dan perawatan lebih singkat), kemoterapi, serta terapi target.